Waktu memilih resign beberapa tahun lalu dari kantor terakhir, saya statusnya belum nikah, masih jomblo pula, tapi harapannya resign, bangun dan mengembangkan bisnis, sehingga kelak ketika sudah menikah saya tidak usah kembali bekerja, cukup menjalankan bisnis saya, maka hidup saya akan terjamin.
Mimpi? hmm tidak sih, hanya saja yang terjadi tidak semudah yang saya bayangkan, saya tidak menyangka akan ketemu jodoh yang domisili serta pekerjaannya ratusan kilometer jauhnya dari rumah saya, dan karena saya memang udah komitmen ke diri sendiri, jika sudah menikah kudu, wajib, harus ngikut suami, jadi yaaa saya ikut pindah domisili.
Satu sisi, lebih mudah, karena saya tidak terikat pekerjaan diinstansi manapun kala itu, jadi mau ngikut pindah domisili sih oke-oke aja, ga harus ribet urus sana-sini. Disisi lain, bisnis yang sudah saya kembangkan selama kurang lebih 3 tahun itu harus saya tinggalkan, dan membuka bisnis serupa dikota yang baru, masih keliatan fleksibel tentu saja, tapi tentu akan berbeda, karena saya harus memulai dari nol semua-muanya, mencari konsumen yang cocok dengan kue-kue buatan saya, baik secara rasa maupun harga, dan ini tentu saja tidak mudah. Dari kota besar yang lumayan konsumtif, dimana harga tidak masalah yang penting rasa enak, pindah ke kota berkembang yang masih menganut paham kue besar, murah, rasa belakangan.
Selama 1 tahun ini saya masih terus berjuang dengan segala keterbatasan saya, jangan dikata saya pindah lalu perlengkapan baking saya lantas diboyong semua, tentu tidak, yang pertama karena masih numpang dirumah mertua, egois banget kalau bawa barang banyak, ntar serumah penuh barang-barang saya aja. Kedua, bisnis di kota sebelumnya juga diteruskan oleh adek saya, jadi barang2pun tidak tertinggal percuma.
Agak dilema akhir-akhir ini, hingga lewat setahun pernikahan kami belum sanggup untuk mengontrak rumah sendiri :( sedih tapi memang tidak bisa dipaksakan, kami sama-sama bukan dari golongan yang berlebih, jadi ketika memulai memasuki rumah tangga, kami betul-betul memulainya dengan 0, ya tabungan kami 0, bahkan hingga sekarang hahaha.
Rasanya tidak enak juga menumpang seperti ini, numpang makan, tidur, tidak bayar listrik, air, dll. Duh benalu banget kami ini. Tapi mau bagaimana lagi, tagihan tiap bulan sisa utang-utang sebenarnya masih menumpuk :-), belum kebutuhan pribadi yang harus dikali 2, sementara sumber penghasilan cuma 1. Jualan saya pun kadang ada dan tiada, itupun sudah dengan hasil yang tidak terlalu besar, cuma buat muterin modal aja sih.
Musim CPNS, saya disuruh ikut daftar, sebenarnya sih mau-mau aja ya daftar, walaupun saya ga ada rasa optimis ingin kembali bekerja, untuk keliatan aja kalau saya sedikit berusaha, tapi formasi jurusan saya tidak ada dikota ini, itu berarti saya harus kembali ke kota saya agar saya bisa mandaftar karena formasi untuk jurusan saya lumayan banyak diterima dikota tsb. Dalam kondisi keuangan mepet seperti ini, untuk pergi test disana yang mana test tersebut rencananya hanya akan saya ikuti setengah hati duhh beraaat, biaya kesana PP habis 300rban, duhh bisa pakai ngontrol kehamilan duit segitu.
Seorang teman ngajakin daftar sama-sama, awalnya memang saya iyain aja sih, tapi karena hingga saat ini setiap ditanya udah daftar atau belum saya selalu menjawab belum akhirnya dia nanya kenapa, saya jawab, masih nunggu formasi kota ini buka, belum recheck, kalau ada dikota ini mending dikota ini aja, suami juga agak setengah hati ngasih ijin kalau daftarnya terlalu jauh.
Teman saya malah sedikit menyalahkan ijin setengah hati dari suami :-) katanya suami saya harusnya ga usah ngekang-ngekang saya, toh ini juga untuk masa depan saya. Ingin menjawab kembali tapi saya rasa kami ga sepaham soal itu, jadi percuma.
Ketika saya dan suami memutuskan untuk berumah tangga, saya berkomitmen akan selalu mendampinginya, kami udah LDR sejak pacaran, masa iya pas nikah mesti LDM? dan saya jelas bukan type perempuan yang tahan dengan LDM. Ngurus suami dan anak itu cita-cita saya sejak kuliah, dan itu pernah saya ucapkan didepan dosen dan teman-teman saya ketika seorang dosen bertanya ke kami, mahasiswanya, apa cita-cita kamu kelak. Ada menjawab jadi psikolog, sebagian lagi mau jadi akademisi, dll. Saya donk jawab, saya ingin menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anak saya kelak. sekelas ketawa ngakak dan anggap jawaban saya itu konyol dan terlalu sinetron. Mungkin iya, tapi itu artinya adalah ketika saya memilih menikah, seluruh diri saya, ilmu saya, bakti saya, akan saya curahkan untuk keluarga saya. Insya Allah.
Itu pula alasan kenapa saya memilih berbisnis dirumah dibanding kerja kantoran, karena saya ingin waktu saya lebih fleksibel, dan ternyata tidak semua orang memahami keinginan saya, dan memang sih tidak semua orang harus memahami, tapi cukup tidak memaksa dan sedikit mengintervensi saya aja sebenarnya. Saya paham beratnya keuangan kami, apalagi sebentar lagi akan bertambah jumlah dalam keluarga kecil kami, tentu berat jika post pemasukan hanya 1 sumber. Tapi saya juga ga tega jika nanti anak saya harus menjadi anak titip sana-sini karena saya harus bekerja. Duhh saya ingin melihat tumbuh kembang anak saya dari waktu ke waktu, dari dia mulai tengkurap, ngoceh, duduk, menyebutkan kata pertamanya, merangkak, berjalan dan semuaaa tahap perkembangannya. Saya ingin mencatat semua sebagai catatan cinta dari ibu untuknya kelak. Saya ingin tumbuh bersamanya. Dan saya ingin sayalah yang dicari pertama kali ketika dia butuh bantuan. Kondisi seperti ini tidak dipahami oleh orang lain, mungkin jawabannya, kalau penghasilan suami kamu bisa menutupi semuanya silahkan, kalau tidak? bagaimana memenuhi kebutuhan rumah tangga kalian? nunggu dibantuin dari langit?
Dan kembali lagi saya dilema :(
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thx udah Comment Yaks.. ^_^ sering mampir n comment di KaMaR uNieQ Lho.. ^^